PERATURAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 56 TAHUN 2014
TENTANG
KLASIFIKASI DAN PERIZINAN
RUMAH SAKIT
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit,
perlu dilakukan penyempurnaan sistem perizinan dan klasifikasi rumah sakit
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit;
b. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit belum
mencakup semua jenis rumah sakit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24
dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/ VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kemeterian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 741);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
MENTERI KESEHATAN TENTANG KLASIFIKASI DAN PERIZINAN RUMAH SAKIT.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
2.
Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
3.
Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu
jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit atau kekhususan lainnya.
4.
Izin
Mendirikan Rumah Sakit, yang selanjutnya disebut Izin Mendirikan adalah izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang kepada instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah atau badan swasta yang akan mendirikan bangunan atau mengubah fungsi bangunan yang telah ada untuk
menjadi rumah sakit setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri ini.
5.
Izin
Operasional Rumah Sakit, yang selanjutnya disebut Izin Operasional adalah izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai kelas rumah sakit kepada
penyelenggara/pengelola rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
di rumah sakit setelah memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri ini.
6.
Pemerintah
Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7.
Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
8.
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB II
PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN
Pasal 2
Rumah Sakit dapat didirikan dan diselenggarakan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta.
Pasal 3
(1)
Rumah Sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh
Pemerintah merupakan unit pelaksana teknis dari instansi Pemerintah yang tugas
pokok dan fungsinya di bidang kesehatan ataupun instansi Pemerintah lainnya.
(2)
Instansi Pemerintah lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia, kementerian atau
lembaga pemerintah non kementerian.
(3)
Unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan pengelolaan keuangan badan layanan
umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Rumah Sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah harus merupakan unit pelaksana teknis daerah atau lembaga
teknis daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan keuangan badan layanan
umum daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1)
Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang
perumahsakitan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Rumah Sakit publik yang diselenggarakan
oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.
(3)
Sifat nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
BAB III
BENTUK RUMAH SAKIT
Pasal 6
Berdasarkan bentuknya, Rumah Sakit dibedakan menjadi
Rumah Sakit menetap, Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan.
Pasal 7
Rumah Sakit menetap merupakan rumah sakit yang didirikan secara permanen
untuk jangka waktu lama untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan dan gawat darurat.
Pasal 8
(1) Rumah Sakit bergerak
merupakan Rumah Sakit yang siap guna dan bersifat
sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahkan dari satu lokasi ke
lokasi lain.
(1) Rumah Sakit bergerak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk bus, kapal
laut, karavan, gerbong
kereta api, atau kontainer.
Pasal 9
(1) Rumah
Sakit lapangan merupakan Rumah Sakit yang didirikan di lokasi tertentu selama
kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan tertentu yang berpotensi bencana
atau selama masa tanggap darurat bencana.
(2) Rumah Sakit lapangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tenda di
ruang terbuka, kontainer, atau bangunan permanen yang difungsikan sementara sebagai Rumah
Sakit.
Pasal 10
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara proses perizinan Rumah Sakit
bergerak dan Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit
dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
Pasal 12
(1) Rumah Sakit Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diklasifikasikan menjadi:
a. Rumah Sakit Umum Kelas A;
b. Rumah Sakit Umum Kelas B;
c. Rumah Sakit Umum Kelas C; dan
d. Rumah Sakit Umum Kelas D.
(2) Rumah Sakit Umum Kelas D sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan menjadi:
a. Rumah Sakit Umum Kelas D;
dan
b. Rumah Sakit Umum Kelas D
pratama.
(3) Rumah Sakit Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 diklasifikasikan menjadi:
a. Rumah Sakit Khusus Kelas
A;
b. Rumah Sakit Khusus Kelas
B; dan
c. Rumah Sakit Khusus Kelas C.
Pasal 13
(1) Penetapan klasifikasi
Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
didasarkan pada:
a. pelayanan;
b. sumber daya manusia;
c. peralatan; dan
d. bangunan dan prasarana.
(2) Bangunan dan prasarana Rumah
Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus memenuhi
persyaratan tata bangunan dan lingkungan serta persyaratan keandalan bangunan dan
prasarana Rumah Sakit.
(3) Persyaratan
tata bangunan dan
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Peruntukan
lokasi dan intensitas bangunan sesuai ketentuan peraturan daerah setempat.
b. Desain
bangunan Rumah Sakit, yang meliputi:
1) Bentuk
denah bangunan Rumah Sakit simetris dan sederhana untuk mengantisipasi
kerusakan apabila terjadi gempa.
2) Massa
bangunan harus mempertimbangkan sirkulasi udara dan pencahayaan.
3) Tata
letak bangunan-bangunan (siteplan)
dan tata ruang dalam bangunan harus mempertimbangkan zonasi berdasarkan tingkat
resiko penularan penyakit, zonasi berdasarkan privasi, dan zonasi berdasarkan
kedekatan hubungan fungsi antar ruang pelayanan.
4) Tinggi
rendah bangunan harus dibuat tetap menjaga keserasian lingkungan dan peil banjir.
5) Aksesibilitas
di luar dan di dalam bangunan harus mempertimbangkan kemudahan bagi semua orang
termasuk penyandang cacat dan lansia.
6) Bangunan
Rumah Sakit harus menyediakan area parkir kendaraan dengan jumlah area yang
proporsional disesuaikan dengan peraturan daerah setempat.
7) Perancangan
pemanfaatan tata ruang dalam bangunan harus efektif sesuai dengan fungsi-fungsi
pelayanan.
c. Pengendalian
dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Persyaratan
keandalan bangunan dan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. Persyaratan
keselamatan struktur bangunan, kemampuan bangunan menanggulangi bahaya kebakaran, bahaya petir, bahaya
kelistrikan, persyaratan instalasi gas medik, instalasi uap dan instalasi bahan
bakar gas.
b. Persyaratan
sistem ventilasi, pencahayaan, instalasi air, instalasi pengolahan limbah, dan
bahan bangunan.
c. Persyaratan
kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kenyamanan termal, kenyamanan terhadap
tingkat getaran dan kebisingan.
d. Persyaratan
tanda arah (signage), koridor,
tangga, ram, lift, toilet dan sarana evakuasi yang aman bagi semua
orang termasuk penyandang cacat dan lansia.
(5) Ketentuan lebih
lanjut mengenai kriteria
bangunan dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Rumah Sakit Umum
Paragraf 1
Rumah Sakit Umum Kelas A
Pasal 14
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum
Kelas A paling sedikit meliputi:
a. pelayanan medik;
b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan
kebidanan;
d. pelayanan penunjang
klinik;
e. pelayanan penunjang
nonklinik; dan
f. pelayanan rawat inap.
Pasal 15
(1) Pelayanan medik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, paling sedikit terdiri dari:
a. pelayanan
gawat darurat;
b. pelayanan
medik spesialis dasar;
c. pelayanan
medik spesialis penunjang;
d. pelayanan
medik spesialis lain;
e. pelayanan
medik subspesialis; dan
f. pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
(2) Pelayanan gawat darurat,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus diselenggarakan 24 (dua puluh
empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan medik spesialis
dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi pelayanan penyakit
dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
(4) Pelayanan medik spesialis
penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi pelayanan
anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi
medik.
(5) Pelayanan medik spesialis
lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi pelayanan mata,
telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik,
dan kedokteran forensik.
(6) Pelayanan medik
subspesialis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi pelayanan subspesialis di bidang
spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan ginekologi,
mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik,
dan gigi mulut.
(7) Pelayanan medik spesialis
gigi dan mulut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi pelayanan
bedah mulut, konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti,
pedodonsi, dan penyakit mulut.
Pasal 16
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf b meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pasal 17
Pelayanan keperawatan dan
kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c meliputi asuhan
keperawatan generalis dan spesialis serta asuhan kebidanan.
Pasal 18
Pelayanan penunjang
klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d meliputi pelayanan bank
darah, perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi,
sterilisasi instrumen dan rekam medik.
Pasal 19
Pelayanan penunjang
nonklinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e meliputi
pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan
pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem informasi
dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem penanggulangan kebakaran,
pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 20
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf f harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a.
jumlah
tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur
untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b.
jumlah
tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c.
jumlah
tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat
tidur
untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Pasal 21
(1) Sumber daya manusia Rumah
Sakit Umum kelas A terdiri atas:
a.
tenaga medis;
b.
tenaga kefarmasian;
c.
tenaga keperawatan;
d.
tenaga kesehatan lain;
e.
tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 18 (delapan belas) dokter
umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 4 (empat) dokter gigi
umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 6 (enam) dokter spesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 3 (tiga) dokter spesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
e. 3 (tiga) dokter spesialis
untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik subspesialis; dan
g. 1 (satu) dokter gigi
spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
(3) Tenaga kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) apoteker sebagai
kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 5 (lima) apoteker yang
bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga
teknis kefarmasian;
c. 5 (lima) apoteker di
rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit
10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian;
d. 1 (satu) apoteker di instalasi
gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian;
e. 1 (satu) apoteker di
ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit
2 (dua) tenaga teknis kefarmasian;
f. 1 (satu) apoteker sebagai
koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan
farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan
g. 1 (satu) apoteker sebagai
koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di
rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 22
(1)
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c sama
dengan jumlah tempat tidur pada instalasi rawat inap.
(2)
Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 23
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf d dan huruf e disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 24
(1) Peralatan Rumah Sakit Umum
kelas A harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis untuk
instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat
operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah,
rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3) Peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Paragraf 2
Rumah Sakit Umum Kelas B
Pasal 25
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas
B paling sedikit meliputi:
a. pelayanan medik;
b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan kebidanan;
d. pelayanan penunjang klinik;
e. pelayanan penunjang nonklinik; dan
f. pelayanan rawat inap.
Pasal 26
(1) Pelayanan
medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, paling sedikit terdiri dari:
a. pelayanan
gawat darurat;
b. pelayanan
medik spesialis dasar;
c. pelayanan
medik spesialis penunjang;
d. pelayanan
medik spesialis lain;
e. pelayanan
medik subspesialis; dan
f. pelayanan
medik spesialis gigi dan mulut.
(2) Pelayanan
gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan
medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
(4) Pelayanan
medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi
pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan
rehabilitasi medik.
(5) Pelayanan
medik spesialis lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, paling
sedikit berjumlah 8 (delapan) pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang
meliputi pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan
pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi,
bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik.
(6) Pelayanan
medik subspesialis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, paling sedikit
berjumlah 2 (dua) pelayanan subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar yang
meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam,
kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi.
(7) Pelayanan
medik spesialis gigi dan mulut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
paling sedikit berjumlah 3 (tiga) pelayanan yang meliputi pelayanan bedah
mulut, konservasi/endodonsi, dan orthodonti.
Pasal 27
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 huruf b meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pasal 28
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf c meliputi asuhan keperawatan dan asuhan
kebidanan.
Pasal 29
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf d meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk
semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam
medik.
Pasal 30
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf e meliputi pelayanan laundry/linen,
jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,
ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 31
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 huruf f harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a.
jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b.
jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c.
jumlah
tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat
tidur
untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Pasal 32
(1) Sumber
daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri atas:
a. tenaga
medis;
b. tenaga
kefarmasian;
c. tenaga
keperawatan;
d. tenaga
kesehatan lain;
e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 12 (dua
belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 3 (tiga)
dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 3 (tiga)
dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 2 (dua)
dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
e. 1 (satu)
dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f. 1 (satu)
dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan
g. 1 (satu)
dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
(3) Tenaga
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri
atas:
a.
1 (satu)
orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b.
4 (empat)
apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
c.
4
(empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh
paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
d.
1 (satu)
orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua)
orang tenaga teknis kefarmasian;
e.
1 (satu)
orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang
tenaga teknis kefarmasian;
f.
1 (satu)
orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban
kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan
g.
1 (satu)
orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan
pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga
teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan
kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 33
(1) Jumlah
kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf
c sama dengan jumlah tempat tidur pada instalasi rawat inap.
(2) Kualifikasi
dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 34
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan
tenaga nonkesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf d dan e disesuaikan
dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 35
(1)
Peralatan Rumah
Sakit Umum kelas B harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Peralatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat
operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah,
rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3)
Peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Paragraf 3
Rumah Sakit Umum Kelas
C
Pasal 36
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas
C paling sedikit meliputi:
a. pelayanan medik;
b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan kebidanan;
d. pelayanan penunjang klinik;
e. pelayanan penunjang nonklinik; dan
f. pelayanan rawat inap.
Pasal 37
(1) Pelayanan
medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, paling sedikit terdiri dari:
a. pelayanan
gawat darurat;
b. pelayanan
medik umum;
c. pelayanan
medik spesialis dasar;
d. pelayanan
medik spesialis penunjang;
e. pelayanan
medik spesialis lain;
f. pelayanan
medik subspesialis; dan
g. pelayanan
medik spesialis gigi dan mulut.
(2) Pelayanan
gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan
medik umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi pelayanan
medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana.
(4) Pelayanan
medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
(5) Pelayanan
medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi
pelayanan anestesiologi, radiologi, dan patologi klinik.
(6) Pelayanan
medik spesialis gigi dan mulut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g,
paling sedikit berjumlah 1 (satu) pelayanan.
Pasal 38
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf b meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pasal 39
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf c meliputi asuhan keperawatan dan asuhan
kebidanan.
Pasal 40
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 huruf d meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk
semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam
medik.
Pasal 41
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 huruf e meliputi pelayanan laundry/linen,
jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,
ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 42
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf f harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a.
jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b.
jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c.
jumlah
tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat
tidur
untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Pasal 43
(1) Sumber
daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas:
a. tenaga
medis;
b. tenaga
kefarmasian;
c. tenaga
keperawatan;
d. tenaga
kesehatan lain;
e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik
dasar;
b. 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik
gigi mulut;
c. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis dasar;
d. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis penunjang; dan
e. 1 (satu)
dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
(3) Tenaga
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri
atas:
a.
1 (satu)
orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b.
2 (dua)
apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 4 (empat)
orang tenaga teknis kefarmasian;
c.
4
(empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling
sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
d.
1 (satu)
orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang
dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 44
(1) Jumlah
kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf
c dihitung dengan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur.
(2) Kualifikasi
dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 45
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan
tenaga nonkesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf d dan
huruf e disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 46
(1)
Peralatan Rumah
Sakit Umum kelas C harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Peralatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat
operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah,
rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3)
Peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Paragraf 4
Rumah Sakit Umum Kelas
D
Pasal 47
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum
Kelas D paling sedikit meliputi:
a. pelayanan
medik;
b. pelayanan
kefarmasian;
c. pelayanan
keperawatan dan kebidanan;
d. pelayanan
penunjang klinik;
e. pelayanan
penunjang nonklinik; dan
f. pelayanan
rawat inap.
Pasal 48
(1) Pelayanan
Medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a, paling sedikit terdiri dari:
a. pelayanan
gawat darurat;
b. pelayanan
medik umum;
c. pelayanan
medik spesialis dasar; dan
d. pelayanan
medik spesialis penunjang.
(2) Pelayanan
gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan
medik umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi pelayanan medik dasar, medik gigi
mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana.
(4) Pelayanan
medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, paling
sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar yang meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan/atau obstetri dan
ginekologi.
(5) Pelayanan
medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi
pelayanan radiologi dan laboratorium.
Pasal 49
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf b meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pasal 50
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf c meliputi asuhan keperawatan dan asuhan
kebidanan.
Pasal 51
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf d meliputi pelayanan darah, perawatan high care unit untuk
semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam
medik.
Pasal 52
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf e meliputi pelayanan laundry/linen,
jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,
ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 53
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf f harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a.
jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b.
jumlah
tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c.
jumlah
tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat
tidur
untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Pasal
54
(1) Sumber
daya manusia rumah sakit umum kelas D terdiri atas:
a. tenaga
medis;
b. tenaga
kefarmasian;
c. tenaga
keperawatan;
d. tenaga
kesehatan lain;
e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 4 (empat)
dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 1 (satu)
dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 1 (satu)
dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar.
(3) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu)
orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 1 (satu)
apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
c. 1 (satu)
orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang
dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 55
(1) Jumlah
kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf
c dihitung dengan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur.
(2) Kualifikasi
dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit.
Pasal 56
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan
tenaga nonkesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf d dan
huruf e disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 57
(1)
Peralatan Rumah
Sakit Umum kelas D harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Peralatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat
operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah,
rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3)
Peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Paragraf 5
Rumah Sakit Umum Kelas
D Pratama
Pasal 58
(1) Rumah Sakit Umum kelas D
pratama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2 huruf b, didirikan dan diselenggarakan
untuk menjamin ketersediaan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan tingkat kedua.
(2) Rumah Sakit Umum kelas D pratama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat didirikan dan diselenggarakan di
daerah tertinggal, perbatasan, atau kepulauan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Selain pada daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Rumah Sakit Umum kelas D pratama dapat juga didirikan
di kabupaten/kota, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. belum tersedia Rumah
Sakit di kabupaten/kota yang bersangkutan;
b. Rumah Sakit yang telah
beroperasi di kabupaten/kota yang bersangkutan
kapasitasnya belum mencukupi; atau
c. lokasi Rumah Sakit yang
telah beroperasi sulit dijangkau secara geografis oleh sebagian penduduk di
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4)
Ketentuan
mengenai Rumah Sakit Umum kelas D pratama diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Rumah Sakit Khusus
Pasal 59
(1)
Rumah Sakit
Khusus meliputi rumah sakit khusus:
a. ibu dan anak;
b. mata;
c. otak;
d. gigi dan mulut;
e. kanker;
f. jantung dan pembuluh
darah;
g. jiwa;
h. infeksi;
i. paru;
j. telinga-hidung-tenggorokan;
k. bedah;
l. ketergantungan obat;
dan
m. ginjal.
(2)
Selain
jenis Rumah Sakit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat
menetapkan jenis Rumah Sakit Khusus lainnya.
(3)
Jenis Rumah
Sakit Khusus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa penggabungan jenis kekhususan atau
jenis kekhususan baru.
(4)
Penetapan
jenis Rumah Sakit Khusus baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan hasil kajian dan mendapatkan rekomendasi asosiasi perumahsakitan
serta organisasi profesi terkait.
Pasal 60
(1)
Rumah Sakit
Khusus hanya dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai bidang
kekhususannya dan bidang lain yang menunjang kekhususan tersebut.
(2)
Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di luar bidang kekhususannya hanya dapat dilakukan pada
pelayanan gawat darurat.
Pasal 61
Rumah Sakit Khusus harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan, paling sedikit meliputi:
a. pelayanan, yang diselenggarakan meliputi:
1. pelayanan
medik, paling sedikit terdiri dari:
a) pelayanan gawat darurat, tersedia 24 (dua puluh
empat) jam sehari terus menerus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b) pelayanan medik umum;
c) pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan
kekhususan;
d) pelayanan medik spesialis dan/atau
subspesialis sesuai kekhususan;
e) pelayanan medik spesialis penunjang;
2. pelayanan
kefarmasian;
3. pelayanan
keperawatan;
4. pelayanan
penunjang klinik; dan
5. pelayanan
penunjang nonklinik;
b. sumber daya manusia, paling sedikit terdiri
dari:
1. tenaga medis, yang memiliki kewenangan
menjalankan praktik kedokteran di Rumah Sakit yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. tenaga kefarmasian, dengan kualifikasi apoteker
dan tenaga teknis kefarmasian dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
3. tenaga keperawatan, dengan kualifikasi dan
kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
4. tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan,
sesuai dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
c. peralatan, yang memenuhi standar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria klasifikasi
dan standar peralatan untuk masing-masing jenis Rumah Sakit Khusus diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PERIZINAN RUMAH SAKIT
Bagian Kesatu
Jenis Izin
Pasal 63
(1)
Setiap Rumah
Sakit wajib memiliki izin.
(2)
Izin Rumah
Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Izin Mendirikan dan Izin
Operasional.
(3)
Izin Mendirikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pemilik Rumah Sakit.
(4)
Izin
Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pengelola Rumah
Sakit.
Pasal 64
(1)
Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal
asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah
mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah provinsi.
(2)
Menteri mendelegasikan
pemberian Izin Mendirikan dan Izin Operasional
Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal
asing kepada Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Kesehatan yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan perumahsakitan.
(3)
Menteri mendelegasikan
pemberian Izin Mendirikan dan Izin Operasional
Rumah Sakit kelas B penanaman modal dalam negeri
kepada pemerintah daerah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(4)
Menteri
mendelegasikan pemberian Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas
C dan Rumah Sakit kelas D penanaman modal dalam negeri kepada pemerintah daerah kabupaten/kota setelah
mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah
Daerah kabupaten/kota.
(5)
Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh
Pemerintah Daerah provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah
Daerah kabupaten/kota.
(6)
Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit kelas C dan Rumah Sakit kelas D, diberikan oleh kepala Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di
bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pasal 65
Rumah Sakit penanaman modal asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) merupakan Rumah Sakit dengan pelayanan
spesialistik dan subspesialistik.
Bagian Kedua
Izin Mendirikan
Pasal 66
(1)
Izin Mendirikan diberikan
untuk mendirikan bangunan baru atau mengubah fungsi bangunan lama untuk
difungsikan sebagai Rumah Sakit.
(2)
Pendirian bangunan dan
pengalihan fungsi bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimulai
segera setelah mendapatkan Izin Mendirikan.
(3)
Izin Mendirikan diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun.
(4)
Perpanjangan Izin Mendirikan
diperoleh dengan mengajukan permohonan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum
jangka waktu Izin Mendirikan berakhir dengan melampirkan Izin Mendirikan.
Pasal 67
(1) Pemilik atau pengelola
yang akan mendirikan Rumah Sakit mengajukan permohonan Izin Mendirikan kepada
pemberi izin sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit yang akan didirikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 secara tertulis dengan melampirkan:
a. fotokopi akta pendirian
badan hukum yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. studi kelayakan;
c. master
plan;
d. Detail Engineering Design;
e. dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
f.
fotokopi
sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah atas nama badan hukum pemilik rumah
sakit;
g.
izin
undang-undang gangguan (Hinder Ordonantie/HO);
h.
Surat Izin
Tempat Usaha (SITU);
i. Izin Mendirikan Bangunan
(IMB);
j. rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan pada Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan
klasifikasi Rumah Sakit.
(2)
Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan gambaran kegiatan perencanaan Rumah Sakit secara fisik dan nonfisik
yang terdiri atas:
a.
kajian kebutuhan pelayanan Rumah Sakit yang meliputi:
1)
kajian
demografi yang mempertimbangkan luas wilayah dan kepadatan penduduk serta karakteristik penduduk yang terdiri dari
umur, jenis kelamin, dan status perkawinan;
2)
kajian
sosio-ekonomi yang mempertimbangkan kultur/kebudayaan,
tingkat pendidikan, angkatan kerja, lapangan pekerjaan, pendapatan domestik
rata-rata bruto;
3)
kajian
morbiditas dan mortalitas, yang mempertimbangkan sekurang-kurangnya sepuluh
penyakit utama, angka kematian (GDR, NDR), dan angka persalinan;
4)
kajian
kebijakan dan regulasi, yang mempertimbangkan kebijakan dan regulasi pengembangan
wilayah pembangunan sektor nonkesehatan, kesehatan, dan perumah sakitan.
5)
kajian
aspek internal Rumah Sakit merupakan rancangan sistem-sistem yang akan
dilaksanakan atau dioperasionalkan, yang terdiri darisistem manajemen
organisasi termasuksistem manajemen unit-unit pelayanan,system unggulan
pelayanan, ariff teknologi peralatan, sistem tarif, serta rencana
kinerja dan keuangan.
b.
kajian
kebutuhan lahan, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, dan peralatan sesuai kriteria klasifikasi Rumah
Sakit yang akan didirikan yang meliputi:
1) Lahan dan bangunan Rumah Sakit harus dalam satu
kesatuan lokasi yang saling berhubungan dengan ukuran, luas dan bentuk lahan
serta bangunan/ruang mengikuti ketentuan tata ruang daerah setempat yang
berlaku.
2)
Persyaratan
lokasi meliputi :
a)
Tidak berada di lokasi area berbahaya (di tepi
lereng, dekat kaki gunung yang rawan terhadap longsor,
dekat anak sungai atau badan air yang dpt mengikis pondasi, dekat dengan
jalur patahan aktif/gempa, rawan tsunami, rawan banjir, berada dalam zona
topan/badai, dan lain-lain).
b)
Harus tersedia infrastruktur aksesibilitas untuk
jalur transportasi.
c)
Ketersediaan utilitas publik mencukupi seperti air
bersih, jaringan air kotor, listrik, jalur komunikasi/telepon.
d)
Ketersediaan lahan parkir.
e)
Tidak berada di bawah pengaruh SUTT dan SUTET.
3)
rencana
cakupan, jenis pelayanan kesehatan, dan fasilitas lain;
4)
jumlah,
spesialisasi, dan kualifikasi sumber daya manusia; dan
5)
jumlah,
jenis, dan spesifikasi peralatan mulai dari peralatan sederhana hingga
peralatan canggih.
c.
kajian kemampuan pendanaan/pembiayaan yang meliputi:
1) prakiraan jumlah kebutuhan dana investasi dan
sumber pendanaan;
2) prakiraan pendapatan atau proyeksi pendapatan
terhadap prakiraan jumlah kunjungan dan pengisian tempat tidur;
3) prakiraan biaya atau proyeksi biaya tetap dan biaya
tidak tetap terhadap prakiraan sumber daya manusia;
4) proyeksi arus kas 5 (lima) sampai 10 (sepuluh)
tahun; dan
5) proyeksi laba atau rugi 5 (lima) sampai 10
(sepuluh) tahun.
(3) Master
plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat
strategi pengembangan aset untuk sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun kedepan
dalam pemberian pelayanan kesehatan secara optimal yang meliputi identifikasi
proyek perencanaan, demografis, tren masa depan, fasilitas yang ada, modal dan
pembiayaan.
(4) Detail Engineering Design sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d merupakan gambar perencanaan lengkap Rumah Sakit yang akan dibangun
yang meliputi gambar arsitektur, struktur dan mekanikal elektrikal sesuai
dengan persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas upaya pengelolaan lingkungan (UKL),
upaya pemantauan lingkungan (UPL), atau analisis dampak lingkungan (AMDAL) berdasarkan klasifikasi Rumah
Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)
Izin undang-undang gangguan (hinder ordonantie/HO) dan/atau surat
izin tempat usaha (SITU), dan izin
mendirikan bangunan (IMB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, huruf h, dan
huruf i diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
(1) Pemberi izin harus
menerbitkan bukti penerimaan berkas permohonan yang telah lengkap atau
memberikan informasi apabila berkas permohonan belum lengkap kepada pemilik
atau pengelola yang mengajukan permohonan Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) hari kerja sejak berkas permohonan diterima.
(2) Dalam hal berkas
permohonan belum lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon harus
mengajukan permohonan ulang kepada pemberi izin.
(3) Dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kerja setelah bukti penerimaan berkas diterbitkan, pemberi
izin harus menetapkan untuk memberikan atau menolak permohonan Izin Mendirikan.
(4) Dalam hal terdapat masalah
yang tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), pemberi izin dapat memperpanjang jangka waktu pemrosesan izin paling lama
14 (empat belas) hari kerja dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
pemohon.
(5) Penetapan pemberian atau
penolakan permohonan Izin Mendirikan dilakukan setelah pemberi izin melakukan
penilaian dokumen dan peninjauan lapangan.
(6) Dalam hal permohonan Izin
Mendirikan ditolak, pemberi izin harus memberikan alasan penolakan yang
disampaikan secara tertulis kepada pemohon.
(7) Apabila pemberi izin tidak menerbitkan Izin Mendirikan atau tidak menolak permohonan hingga berakhirnya
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), permohonan Izin
Mendirikan dianggap diterima.
Pasal 69
Ketentuan mengenai tata cara proses pengajuan,
penerimaan, penerbitan, dan penolakan Izin Mendirikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 dan Pasal 68 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara
proses pengajuan, penerimaan, penerbitan, dan penolakan perpanjangan Izin
Mendirikan.
Bagian Ketiga
Izin Operasional
Pasal 70
(1)
Izin Operasional merupakan
izin yang diberikan kepada pengelola rumah sakit untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.
(2)
Izin Operasional berlaku untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
(3)
Perpanjangan Izin Operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengajukan permohonan perpanjangan
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum habis masa berlakunya Izin
Operasional.
Pasal 71
(1)
Dalam hal masa berlaku Izin
Operasional berakhir dan pemilik Rumah Sakit belum mengajukan perpanjangan Izin
Operasional, Rumah Sakit harus menghentikan kegiatan pelayanannya kecuali
pelayanan gawat darurat dan pasien yang sedang dalam perawatan inap.
(2)
Dalam hal Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap menyelenggarakan pelayanan tanpa Izin Operasional,
dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1)
Untuk memperoleh Izin Operasional, pengelola
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin sesuai dengan
klasifikasi Rumah Sakit dengan melampirkan dokumen:
a.
Izin Mendirikan Rumah Sakit, bagi permohonan Izin Operasional untuk pertama kali;
b.
profil Rumah Sakit, meliputi visi dan misi,
lingkup kegiatan, rencana strategi, dan struktur organisasi;
c.
isian instrumen self
assessment sesuai klasifikasi Rumah Sakit yang meliputi pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, bangunan dan
prasarana;
d.
gambar desain (blue
print) dan foto bangunan
serta sarana dan prasarana pendukung;
e.
izin penggunaan bangunan (IPB) dan sertifikat laik fungsi;
f.
dokumen pengelolaan lingkungan berkelanjutan;
g.
daftar sumber daya manusia;
h.
daftar
peralatan medis dan nonmedis;
i.
daftar
sediaan farmasi dan alat kesehatan;
j.
berita acara hasil uji fungsi peralatan kesehatan
disertai kelengkapan berkas izin pemanfaatan dari instansi berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk peralatan tertentu; dan
k.
dokumen administrasi dan manajemen.
(2)
Instrumen self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebagaimana tercantum dalam formulir
terlampir.
(3)
Dokumen administrasi dan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
meliputi:
a. badan hukum atau
kepemilikan;
b. peraturan internal Rumah
Sakit (hospital bylaws);
c. komite medik;
d. komite keperawatan;
e. satuan pemeriksaan
internal;
f. surat izin praktik atau
surat izin kerja tenaga kesehatan;
g. standar prosedur
operasional kredensial staf medis;
h. surat penugasan klinis
staf medis; dan
i. surat
keterangan/sertifikat hasil uji/kalibrasi alat kesehatan.
(4)
Pemberi izin harus menerbitkan bukti penerimaan
berkas permohonan yang telah lengkap atau memberikan informasi apabila berkas
permohonan belum lengkap kepada Instansi Pemerintah, instansi Pemerintah Daerah, atau badan hukum yang mengajukan permohonan Izin
Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 6
(enam) hari kerja sejak berkas permohonan diterima.
(5)
Terhadap
berkas permohonan Izin Operasional Rumah Sakit kelas A, dan Rumah Sakit
penanaman modal asing yang telah lengkap, Menteri menugaskan pejabat yang
berwenang di bidang kesehatan di tingkat provinsi untuk membentuk tim visitasi yang
terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, dan asosiasi perumahsakitan nasional.
(6)
Terhadap berkas permohonan izin operasional Rumah Sakit
kelas B yang telah lengkap, kepala Pemerintah Daerah provinsi menugaskan
pejabat yang berwenang di bidang kesehatan di tingkat kabupaten/kota untuk
membentuk tim visitasi yang terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan asosiasi perumahsakitan
nasional.
(7)
Terhadap
berkas permohonan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan Rumah Sakit kelas D
yang telah lengkap, kepala Pemerintah Daerah kabupaten/kota menugaskan pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan di tingkat kabupaten/kota untuk membentuk
tim visitasi yang terdiri atas unsur dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan
kabupaten/kota, dan asosiasi perumahsakitan daerah.
(8)
Tim
visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) harus
melakukan visitasi dalam rangka penilaian kesiapan dan kelaikan operasional
Rumah Sakit sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak penugasan.
(9)
Tim
visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) harus
menyampaikan laporan hasil visitasi kepada pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh) hari
kerja setelah visitasi dilakukan.
(10)
Berdasarkan
laporan hasil visitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), pejabat yang
berwenang di bidang kesehatan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota
menyampaikan rekomendasi pemberian atau penolakan permohonan Izin Operasional
kepada Menteri, Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan tim visitasi
diterima.
(11) Dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kerja sejak rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10)
diterima, Menteri, Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai pemberi izin
harus menetapkan untuk memberikan atau menolak permohonan Izin Operasional.
(12) Dalam hal terdapat masalah yang tidak dapat
diselesaikan dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sampai dengan
ayat (11), pemberi izin dapat memperpanjang jangka waktu pemrosesan izin paling
lama 14 (empat belas) hari kerja dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis
kepada pemohon.
(13) Dalam hal permohonan Izin Operasional diterima,
pemberi izin menerbitkan Izin Operasional berupa surat keputusan dan sertifikat
yang memuat kelas Rumah Sakit dan jangka waktu berlakunya izin.
(14)
Dalam hal
permohonan Izin Operasional ditolak, pemberi izin harus memberikan alasan
penolakan yang disampaikan secara tertulis kepada pemohon dan memberikan pilihan kepada pemohon
untuk:
a.
melengkapi persyaratan Izin Operasional sesuai klasifikasi Rumah
Sakit yang akan diselenggarakan; atau
b.
mengajukan permohonan Izin Operasional sesuai
klasifikasi Rumah Sakit hasil penilaian tim penilai tanpa dilakukan visitasi
ulang.
Pasal 73
(1)
Setiap Rumah Sakit yang telah memiliki Izin
Operasional dapat mengajukan permohonan perubahan Izin Operasional
secara tertulis.
(2)
Perubahan Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
jika terjadi perubahan:
a.
kepemilikan;
b.
jenis Rumah
Sakit;
c.
nama Rumah
Sakit; dan/atau
d.
kelas Rumah
Sakit.
(3)
Perubahan Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
diajukan dengan melampirkan:
a.
akte notaris, surat keputusan dari pejabat yang
berwenang, dan/atau putusan pengadilan tentang perubahan status kepemilikan
Rumah Sakit;
b.
rekomendasi dari pejabat yang berwenang di
bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota
sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
c.
studi kelayakan dan rencana strategis perubahan
jenis Rumah Sakit yang memuat kelayakan pada aspek pelayanan, sosial ekonomi,
kebijakan dan peraturan perundang-undangan; dan
d.
surat pernyataan pengajuan perubahan Izin
Operasional dari
pemilik Rumah Sakit.
Pasal 74
Ketentuan
mengenai tata cara proses pengajuan, penerimaan, penerbitan, dan penolakan Izin
Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) sampai dengan ayat
(10) berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara proses pengajuan,
penerimaan, penerbitan, dan penolakan atas permohonan perpanjangan dan
perubahan Izin Operasional.
Pasal 75
Sertifikat Izin
Operasional Rumah Sakit harus dipasang di ruang yang mudah terlihat oleh
masyarakat.
BAB V
REGISTRASI DAN AKREDITASI
RUMAH SAKIT
Pasal 76
(1) Setiap
Rumah Sakit yang telah mendapakan Izin Operasional harus diregistrasi dan diakreditasi.
(2) Registrasi
dan akreditasi merupakan persyaratan untuk perpanjangan Izin Operasional dan
perubahan kelas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi dan
akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENAMAAN RUMAH SAKIT
Pasal 77
(1)
Penamaan
Rumah Sakit tidak boleh menggunakan kata internasional, international, kelas dunia,
world class, global dan/atau yang disebut nama lainnya yang bermakna sama.
(2)
Penamaan Rumah
Sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah dilarang menggunakan nama orang
yang masih hidup.
(3)
Penamaan
Rumah Sakit harus memperhatikan nilai dan norma agama, sosial budaya, dan
etika.
BAB
VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 78
(1)
Menteri, Pemerintah
Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Rumah Sakit sesuai tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing.
(2)
Menteri, Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah
Daerah kabupaten/kota, dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan masyarakat, asosiasi
perumahsakitan, atau organisasi profesi.
(3)
Pembinaan
dan pengawasan ditujukan untuk:
a.
meningkatkan
mutu penyelenggaraan Rumah Sakit;
b.
meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dan kemudahan akses masyarakat terhadap Rumah Sakit;
dan
c.
meningkatkan
mutu sistem informasi dan komunikasi Rumah Sakit.
(4)
Pembinaan
dan pengawasan dilaksanakan melalui:
a.
advokasi, sosialisasi, supervisi, konsultasi,
dan bimbingan teknis;
b.
pendidikan dan pelatihan; dan/atau
c.
pemantauan dan evaluasi.
(5)
Menteri, Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan dapat mengenakan
tindakan administratif terhadap Rumah Sakit yang tidak menaati ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini.
(6)
Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa teguran lisan, teguran
tertulis, publikasi menggunakan media elektronik atau media cetak, penyesuaian
Izin Operasional, pemberhentian sementara sebagian kegiatan Rumah Sakit,
pencabutan izin praktik tenaga kesehatan dan/atau pencabutan Izin Operasional.
(7)
Penyesuaian
Izin Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa penurunan kelas Rumah Sakit.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 79
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a.
Semua Rumah Sakit yang telah memiliki izin berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit dan telah memperoleh
penetapan kelas, tetap berlaku sampai habis masa berlakunya izin;
b.
Permohonan izin Rumah Sakit yang sedang dalam proses, tetap dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit;
c.
Rumah Sakit yang telah memiliki izin berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010 tentang
Perizinan Rumah Sakit tetapi belum ditetapkan kelasnya harus mengajukan
permohonan Izin Operasional berdasarkan Peraturan Menteri ini paling lambat 2
(dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
d.
Rumah Sakit Khusus yang menggunakan nama kekhususan selain yang ditentukan dalam
Pasal 59 ayat (1) dan Rumah Sakit yang menggunakan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling
lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
e.
Rumah Sakit
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, termasuk instansi Pemerintah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) yang belum berbentuk unit pelaksana teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus menyesuaikan diri paling lambat 2
(dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
BAB
IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 80
Pada saat Peraturan Menteri ini
mulai berlaku:
a.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010
tentang Perizinan Rumah Sakit;
b.
Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah
Sakit, kecuali Lampiran II Kriteria Klasifikasi Rumah Sakit Khusus sepanjang
belum diganti;
c.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2264/Menkes/SK/XI/2011
tentang Pelaksanaan Perizinan Rumah Sakit; dan
d.
semua peraturan pelaksanaan yang terkait dengan
klasifikasi, perizinan, dan penamaan Rumah Sakit sepanjang bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 81
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18
Agustus 2014
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
NAFSIAH MBOI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR